ومن أبآئهم وذرّيّتهم وإخوانهم …
(dan kami lebihkan pula derajat) sebagian dari bapak-bapak mereka, keturunan mereka dan saudara-saudara mereka …’
TAFSIR ‘ALAWIYYAH TENTANG AYAT DI ATAS:
Ayat di atas jelas memberitahukan bahwa antara keturunan para nabi, (khususnya keturunan Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi Wa Sallam), dengan keturunan lainnya terdapat perbedaan derajat keutamaan dan kemuliaan, hal ini didasari oleh sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi Wa Sallam yang ditulis dalam kitab Yanabbi’ al-Mawwadah :
نحن اهل البيت لا يقاس بنا
‘Kami Ahlul Bait (Keturunan Rasulullah) tidaklah bisa dibandingkan dengan siapapun‘.
Imam Ali bin Abi Thalib dalam kitab Nahj al-Balaghoh berkata, ‘Tiada seorang pun dari umat ini dapat dibandingkan dengan keluarga Nabi Muhammad ’Shallallaahu ‘alaihi Wa Sallam’. Imam Ali mengatakan bahwa tiada orang di dunia ini yang setaraf (sekufu’) dengan mereka, tiada pula orang yang dapat dianggap sama dengan mereka dalam hal kemuliaan.
Imam At-Turmudzi meriwayatkan sebuah hadits berasal dari Sayyidina Abbas bin Abdul Mutthalib, ketika Rasulullah ditanya tentang kemuliaan silsilah mereka, beliau menjawab :
ان الله خلق الخلق فجعلني في خيرهم من خيرهم قرنا ثم تخير القبائل فجعلني من خير قبيلة ثم تخير البيوت فجعلني من خيربيوتهم فأنا خيرهم نفسا و خيرهم بيتا
‘Allah menciptakan manusia dan telah menciptakan diriku yang berasal dari jenis kelompok manusia terbaik pada waktu yang terbaik. Kemudian Allah menciptakan kabilah-kabilah terbaik, dan menjadikan diriku dari kabilah yang terbaik. Lalu Allah menciptakan keluarga-keluarga terbaik dan menjadikan diriku dari keluarga yang paling baik. Akulah orang yang terbaik di kalangan mereka, baik dari segi pribadi maupun dari segi silsilah‘.
Imam Baihaqi, Abu Nu’aim dan Tabrani meriwayatkan dari Aisyah, Disebutkan bahwa Jibril ‘Alaihis Salam pernah berkata :
قال لى جبريل : قلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد رجلا افضل من محمد وقلبت مشارق الارض ومغاربها فلم أجد بنى أب أفضل من بني هلشم
‘Jibril berkata kepadaku : Aku membolak balikkan bumi, antara Timur dan Barat, tetapi aku tidak menemukan seseorang yang lebih utama daripada Muhammad saw dan akupun tidak melihat keturunan yang lebih utama daripada keturunan Bani Hasyim’.
Dalam Al-Quran disebutkan bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sebagai contoh para sahabat nabi, mereka adalah orang-orang yang mulia walaupun mereka bukan dari kalangan ahlul bait. Memang benar, bahwa mereka semuanya sama-sama bertaqwa, taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Persamaan keutamaan itu disebabkan oleh amal kebajikannya masing-masing.
Akan tetapi ada keutamaan yang tidak mungkin dimiliki oleh para sahabat nabi yang bukan ahlul bait. Sebab para anggota ahlul bait secara kodrati dan menurut fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah dan keturunan dengan manusia pilihan Allah yaitu nabi Muhammad saw. Hubungan biologis itu merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal dan tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain. Lebih-lebih lagi setelah turunnya firman Allah swt dalam surah Al-Ahzab ayat 33 yang berbunyi :
إنّما يريد الله ليذهب عنكم الرّجس اهل البيت ويطهّركم تطهيرا
‘Sesungguhnya Allah swt bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlu al-bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya‘.
Di samping itu Rasulullah saw telah menegaskan dalam sabdanya :
ياأيهاالناس إن الفضل والشرف والمنزلة والولاية لرسول الله وذريته فلا تذ هبن الأباطيل
‘Hai manusia bahwasanya keutamaan, kemuliaan, kedudukan dan kepemimpinan ada pada
Rasulullah Rasulullah dan keturunannya. Janganlah kalian diseret oleh kebatilan’.
Walaupun para ahlil bait Rasulullah menurut dzatnya telah mempunyai keutamaan, namun Rasulullah tetap memberi dorongan kepada mereka supaya memperbesar ketaqwaan kepada Allah swt, jangan sampai mereka mengandalkan begitu saja hubungannya dengan beliau. Karena hubungan suci dan mulia itu saja tanpa disertai amal saleh tidak akan membawa mereka kepada martabat yang setinggi-tingginya di sisi Allah.
Dengan keutamaan dzatiyah dan keutamaan amaliyah, para ahlul bait dan keturunan rasul memiliki keutamaan ganda, keutamaan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Keutamaan ganda itulah (khususnya keutamaan dzatiyah) yang mendasari pelaksanaan kafa’ah di kalangan keturunan Rasullulah.
Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai kafa’ah syarifah, marilah kita perhatikan hadits yang menceritakan tentang adanya kafa’ah di kalangan wanita Arab.
Telah diceritakan dalam kitab Syarah al-Wasith bahwa Umar bin Khattab akan menikahkan anak perempuannya kepada Salman al-Farisi, kemudian berita tersebut sampai kepada Amr bin Ash, dan beliau berkata kepada Salman : Saya lebih setara (sekufu’) dari pada engkau. Maka Salman berkata : Bergembiralah engkau. Dan selanjutnya dengan sikap tawadhu’ Salman berkata : Demi Allah, saya tidak akan menikah dengan dia selamanya.
Ketika Salman al-Farisi hendak sholat bersama Jarir, salah satu sahabatnya yang berasal dari bangsa Arab, Salman dipersilahkan menjadi imam sholat, kemudian Salman al-Farisi berkata : ‘Tidak ! engkaulah yang harus menjadi imam. Wahai bangsa Arab, sesungguhnya kami tidak boleh mengimami kamu dalam sholat dan tidak boleh menikahi wanita-wanita kamu. Sesungguhnya Allah swt telah memelihara kamu atas kami disebabkan kemuliaan Muhammad saw yang telah diciptakan dari kalangan kamu’.
Dalam riwayat lain dari Salman al-Farisi :
نهانا رسول الله أن نتقدم أمامكم أو ننكح نساءكم
‘Sesungguhnya Rasulullah telah melarang kami untuk memimpin (mengimami) kamu atau menikahi wanita-wanita kamu.”
Dari hadits tersebut jelaslah bahwa di kalangan wanita Arab telah ada kafa’ah nasab dalam perkawinan. Hal tersebut dibuktikan oleh penolakan Salman al-Farisi yang berasal dari Persi (Ajam) ketika hendak dinikahkan dengan wanita Arab Syarifah. Jika dalam pernikahan wanita Arab Syarifah dengan lelaki non Arab Ahwal saja telah ada kafa’ah, apalagi halnya dengan kafa’ah dalam pernikahan antara syarifah dimana mereka adalah wanita Arab yang mempunyai kemuliaan dan keutamaan. Kemuliaan dan keutamaan yang didapatkan tersebut dikarenakan mereka adalah keturunan Rasulullah saw.
Sedangkan hadits Rasulullah yang memberikan dasar pelaksanaan kafa’ah syarifah adalah hadits tentang peristiwa pernikahan Siti Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib, sebagaimana kita telah ketahui bahwa mereka berdua adalah manusia suci yang telah dinikahkan Rasulullah saw berdasarkan wahyu Allah swt . Dalam kitab Makarim al-Akhlaq terdapat hadits yang berbunyi :
إنما انا بشر مثلكم أتزوّج فيكم وأزوّجكم إلا فاطمة فإن تزويجها نزل من السّماء , ونظر رسول الله إلى أولاد علي وجعفر فقال بناتنا لبنينا وبنونا لبناتنا
‘Sesungguhnya aku hanya seorang manusia biasa yang kawin dengan kalian dan mengawinkan anak-anakku kepada kalian, kecuali perkawinan anakku Fathimah. Sesungguhnya perkawinan Fathimah adalah perintah yang diturunkan dari langit (telah ditentukan oleh Allah swt). Kemudian Rasulullah memandang kepada anak-anak Ali dan anak-anak Ja’far, dan beliau berkata : Anak-anak perempuan kami hanya menikah dengan anak-anak laki kami, dan anak-anak laki kami hanya menikah dengan anak-anak perempuan kami’.
Menurut hadits di atas dapat kita ketahui bahwa : Anak-anak perempuan kami (syarifah) menikah dengan anak-anak laki kami (sayid/syarif), begitu pula sebaliknya anak-anak laki kami (sayid/syarif) menikah dengan anak-anak perempuan kami (syarifah). Berdasarkan hadits ini jelaslah bahwa pelaksanaan kafa’ah yang dilakukan oleh para keluarga Alawiyin didasari oleh perbuatan rasul, yang dicontohkannya dalam menikahkan anak puterinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib. Hal itu pula yang mendasari para keluarga Alawiyin menjaga anak puterinya untuk tetap menikah dengan laki-laki yang sekufu sampai saat ini.
Di zaman Sayyid Umar Muhdhar bin Abdurahman al-Saqqaf, oleh para keluarga Alawiyin beliau diangkat menjadi ‘Naqib al-Alawiyin’ yang salah satu tugas khususnya adalah menjaga agar keluarga Alawiyin menikahkan putrinya dengan lelaki yang sekufu’. Mustahil jika ulama Alawiyin seperti Muhammad bin Ali al-Faqih al-Muqaddam, Syekh Abdurahman al-Saqqaf, Syekh Umar Muhdhar, Syekh Abu Bakar Sakran, Syekh Abdullah Alaydrus, Syekh Ali bin Abi Bakar Sakran dan lainnya, melaksanakan pernikahan yang sekufu’ antara syarifah dengan sayid hanya berdasarkan dan mengutamakan adat semata-mata dengan meninggalkan ajaran datuknya Rasulullah saw sebagai uswatun hasanah bagi umat, padahal mereka bukan saja mengetahui hal-hal yang zhohir tapi juga mengetahui hal-hal bathin yang didapat karena kedekatan mereka dengan Allah swt.
Para ulama Alawiyin mempunyai sifat talazum (tidak menyimpang) dari alquran dan seruannya, mereka tidak akan berpisah meninggalkan alquran sampai hari kiamat sebagaimana hadits menyebutkan mereka sebagai padanan alquran, dan mereka juga sebagai bahtera penyelamat serta sebagai pintu pengampunan. Rasulullah mensifatkan mereka ibarat bingkai yang menyatukan umat ini. Berpegang pada mereka dan berjalan di atas jalan mereka adalah jaminan keselamatan dan tidak adanya perpecahan serta perselisihan, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas :
النجوم أمان لأهل السماء وأهل بيتي أمان لأهل العرض
‘Bintang-bintang adalah sebagai pengaman bagi penduduk bumi dari tenggelam (di lautan) dan ahlil baitku sebagai pengaman bagi penduduk bumi (dari perselisihan)‘.
Tidaklah alquran memperkenalkan mereka kepada umat, melainkan agar umat itu memahami kedudukan mereka (dalam Islam) serta agar umat mengikuti dan menjadikan mereka rujukan dalam memahami syariah, mengambil hukum-hukumnya dari mereka.
Habib Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam syairnya menulis :
Ahlul Bait Musthofa, mereka adalah orang-orang suci
Mereka pemberi keamanan di muka bumi
Mereka ibarat bintang-bintang yang bercahaya
Demikianlah sunnatullah yang telah ditentukan
Mereka ibarat bahtera penyelamat
dari segala topan (bahaya) yang menyusahkan
Maka menyelamatkan dirilah kepadanya
Dan berpegang teguhlah kepada Allah swt
serta memohon pertolongan-Nya
Wahai Tuhanku, jadikanlah kami orang yang berguna atas berkah mereka
Tunjukkanlah kepada kami kebaikan dengan kehormatan mereka
Cabutlah nyawa kami di atas jalan mereka
Dan selamatkanlah kami dari berbagai macam fitnah.
Kepada siapapun yang mempunyai pikiran bahwa ulama Alawiyin yang melaksanakan pernikahan antara syarifah dengan sayid berdasarkan adat semata-mata, dianjurkan untuk beristighfar dan mengkaji kembali mengapa para ulama Alawiyin mewajibkan pernikahan tersebut, hal itu bertujuan agar kemuliaan dan keutamaan mereka sebagai keturunan Rasulullah saw yang telah ditetapkan dalam alquran dan hadits Nabi saw, tetap berada pada diri mereka. Sebaliknya, jika telah terjadi pernikahan antara syarifah dengan lelaki yang bukan sayid, maka anak keturunan selanjutnya adalah bukan sayid, hal itu disebabkan karena anak mengikuti garis ayahnya, akibatnya keutamaan serta kemuliaan yang khusus dikarunia oleh Allah swt untuk ahlul bait dan keturunannya tidak dapat disandang oleh anak cucu keturunan seorang syarifah yang menikah dengan lelaki yang bukan sayid.
Sumber : http://majeliswalisongo.wordpress.com/2010/11/08/tafsir-alawiyyah-ke-1-dalil-syari-tentang-kafaah-syarifah/
Info!
Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: TAFSIR ‘ALAWIYYAH KE-1 (DALIL SYAR’I TENTANG KAFA’AH SYARIFAH), jangan lupa + IKUTI website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat. Simak artikel kami lainnya di Google News.
Artikel Terkait
Dukung kami dengan memilih salah satu metode donasi di bawah ini: