Syekh Usman al-Ishaqi Sawahpulo

Syekh Usman al-Ishaqi Sawahpulo
Syekh Usman al-Ishaqi Sawahpulo

Bagi murid-murid atau pengikut Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah, figur Kiyai Utsman tidak asing lagi. Karena di samping beliau sebagai mursyidnya, juga penyusun silsilah thariqah yang paling banyak pengikutnya ini.

Lahir di Surabaya pada bulan Jumadil Akhir 1334 H setelah bertapa selama 16 bulan dalam rahim ibu, beliau memiliki silsilah keturunan hingga Rasulullah SAW yang ke 37, Kiyai Utsman lebih banyak masa kecilnya dihabiskan untuk belajar dan mengaji ke beberapa guru di lingkungan beliau lahir. Tak heran jika pada usia 7 tahun Kiyai Utsman kecil telah 3 kali khatam Al Qur’an. Nasab beliau

Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Pesantren yang pertama kali disinggahi untuk menuntut ilmu ialah pesantren yang diasuh oleh Kiyai Khozin Siwalan Panji. Tidak lama kemudian beliau pindah ke pesantren yang diasuh Kiyai Munir Jambu Madura. Selanjutnya oleh kedua orang tuanya, Kiyai Utsman dipondokkan di pesantren Tebuireng Jombang asuhan KH. Hasyim Asy’ari dan akhirnya Kiyai Utsman memantapkan hatinya untuk memperdalam ilmunya di pesantren Rejoso Peterongan Jombang yang diasuh oleh Kiyai Romly At Tamimi.

Mengenal thariqah

Perjalanan Kiyai Utsman dalam mencari ilmu diwarnai dengan berbagai lelaku. Tidak saja dalam hal makanan dan minuman saja yang harus dihindari. Akan tetapi juga dalam hal memperbanyak waktu untuk tidurpun juga harus dijalani. Dalam hal tirakat, Yai Utsman tidak pernah pulang ke rumah selama mondok, kecuali badannya sudah kurus benar. Sebab jika pulang dalam keadaan badan gemuk, dapat dipastikan kedua orang tuanya akan marah besar. Jika hal ini terjadi, berarti selama mondok dianggap aktifitasnya hanya makan dan minum saja, bukan mencari ilmu.

Setelah cukup waktu nyantri di Kiyai Romly, Kiyai Utsman dibai’at oleh Kiyai Romly sebagi murid thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah dan sekaligus mendapat tugas dari kiyainya untuk menyusun silsilah thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah yang terhimpun dalam kitab Tsamrotul Fikriyah.
Konon, KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.

Kiai Utsman mengembangkan tarekat di Kedinding Lor Surabaya. Penerusnya Kiai Ahmad Asrori. Dikembangkan kegiatan khushushiyah setiap Ahad pertama bulan Hijriyah di Jatipurwo dan Ahad kedua di Kedinding Lor. Pengikut kegiatan bisa mencapai rata-rata 4.000 orang (lebih banyak dari Rejoso dan Cukir yang pada saat itu berjumlah rata-rata 1.000 orang).Dalam perkembangannya penerus Tarekat Kedinding Lor, Kiai Hilmi Ahmad, mengemukakan sikap pendirinya, bahwa tarekatnya netral, tidak memihak salah satu organisasi sosial politik manapun. Alasannya, kegiatan tarekat untuk ibadah, dzikir kepada Allah, taqarrub kepada Allah.
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. QS. Al Mujaadalah {58] : 11

Babak kehidupan baru pun dimulai, setelah dirasa cukup dalam menimba ilmu dan telah menjadi salah satu murid thariqah, Kiyai Utsman pulang kampung untuk mengamalkan berbagai disiplin ilmu yang telah dimilikinya. Akan tetapi meski telah berada di lingkungan keluarga, Kiyai Utsman masih secara rutin hadir ke Kiyai Romly untuk mengikuti majelis khususi dengan cara berjalan kaki, kadang juga naik kendaraan dan itu dilakukan selama empat tahun. Selanjutnya atas saran KH. Hasyim Asy’ari, Kiyai Utsman beserta keluarga pindah sementara ke Peterongan agar lebih dekat dengan gurunya.

Diba’iat menjadi mursyid

Dalam pandangan Kiyai Romly, Kiyai Utsman selama mondok dan sebagai murid Thariqah, memiliki keistimewaan dan kekhususan yang tidak dimiliki oleh santri lainnya. Seperti ketika Kiai Utsman berusia 13 tahun memiliki kemampuan melihat Ka’bah di Makkah tanpa harus datang ke Masjidil Haram. Juga kemampuannya melihat kepribadian seseorang menyerupai serigala, dan hewan sejenis tergantung nafsunya masing-masing. Termasuk selama mondok di Rejoso ini Kiyai Utsman sering dijumpai oleh Nabi Khidir as.

Kiyai Romly berpendapat bahwa untuk untuk meneruskan ajaran thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah, diperlukan estafet kepemimpinan thariqah dalam hal ini diperlukan seorang mursyid (guru) baru. Ini dimaksudkan agar ajaran thariqah tetap langgeng sampai kiamat nanti. Diantara sekian murid (santri) yang menurut pandangan Kiyai Romly memiliki kemampuan sebagai mursyid thariqah ialah Kiyai Utsman.

Maka pada suatu hari tepatnya jam 2 dini hari Kiyai Utsman diminta menghadap Kiyai Romly untuk diangkat menjadi Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah. Ketika Kiyai Romly melaksanakan perintah Allah dengan cara mengusapkan tangannya di atas kepala Kiyai Utsman, maka seketika itu pula Kiyai Utsman pingsan tidak sadarkan diri selama satu minggu, selama itu pula beliau tidak makan tidak minum tidak tidur tidak mandi tidak buang air besar maupun kecil juga tidak solat.

Setelah resmi menjadi mursyid, Kiyai Utsman atas saran Kiyai Romly diminta tinggal di Desa Ngelunggih tidak jauh dari Rejoso. Tidak beberapa lama kemudian Kiyai Utsman pindah ke dekat gunung Lawu Ngawi untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Ketika ada peristiwa Madiun, banyak yang menyarankan agar Kiyai Utsman pulang kampung di Surabaya. Meski masyarakat dimana beliau tinggal banyak yang keberatan, bahkan jika Kiyai Utsman mau tetap tinggal di Ngawi, ada sebagian masyarakat berkenan menghibahkan tanah seluas 20 ha. Akan tetapi Kiyai Utsman tetap memilih kembali ke Surabaya.

Istiqomah dalam perilaku

Kiyai Utsman sejak kecil hingga akan pulang ke rahmatullah selalu istiqomah dalam perilaku. Perbuatan serta ucapan-ucapannya selalu meniru Rasulullah. Semua menyaksikan bahwa seluruh waktunya hanyalah untuk mengabdi kepada Allah. Maka pantaslah jika kemudian Kiyai Romly memilih Kiyai Utsman sebagai kholifahnya. Dalam hal ini Kiyai Romly pernah bermimpi bahwa di Surabaya terdapat sebuah pabrik besar yang terus menerus berproduksi di bawah pimpinan Kiyai Utsman, itulah thariqah Qadiriyah Wan Naqsabadiyah yang beliau asuh.

Karena saking cintanya kepada Syech Abdul Qadir Al Jailani ra. Kiyai Utsman kemudian merintis penyelenggaraan manaqiban dengan cara membaca sejarah singkat Syech Abdul Qadir Al Jailani ra seorang ulama besar asal Timur Tengah. Kegiatan yang merupakan rintisan ini ternyata mendapat sambutan yang cukup baik dari Kiyai Romly Rejoso dan akhirnya Kiyai Romly menyetujui dan meminta untuk diteruskan (dilanggengkan).

Salah satu kegemaran Kiyai Utsman ialah melakukan ziarah ke wali wali Allah baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Bahkan karena dekatnya hubungan beliau dengan para wali Allah, Kiyai Utsman menyemarakkan peringatan hari wafat mereka, terutama wafatnya Syech Abdul Qadir Al Jailani ra. sehingga tiada terlewatkan setiap harinya di kota maupun di desa di Jawa Timur untuk senantiasa menggelar manaqib.
Setelah Kiyai Utsman mendapat kepercayaan dari kiyai Romly sebagai kholifah (mursyid thariqah), beliau di rumah Jatipurwo menggelar acara manaqiban selama 4 tahun yang hanya diikuti oleh 7 orang. Di tengah tengah memimpin istighotsah, Kiyai Utsman .didatangi oleh seseorang yang tidak dikenal, kemudian menelentangkan Kiyai Utsman dengan sebilah pedang di leher kiyai. Peristiwa tragis ini kemudian disampaikan ke Kiyai Romly, dan beliau hanya menjawab “teruskan apa yang telah kamu amalkan, pasti orang itu tidak berani lagi mengulangi perbuatan yang sama”. Apa yang yang disampaikan oleh Kiyai Romly benar benar terjadi, bukannya orang tersebut mengulangi lagi perbuatan yang sama, akan tetapi malah menjadi pengikut Kiyai Utsman yang setia.

Beberapa karomah yang dimiliki Kiyai Utsman

KH. Ahmad Asrori Al ishaqi (salah satu putra Kiyai Utsman) menceritakan, ketika ayahnda berusia 13 tahun mempunyai kemampuan melihat ka’bah secara nyata dari rumahnya Jatipurwo Surabaya. Beliau menganggap, apa yang dilihatnya merupakan mimpi, tapi setelah berkali kali matanya diusap, bahwa apa yang dia lihat bukan sekedar mimpi, akan tetapi benar benar terjadi dan yang tampak hanyalah ka’bah di Makkah. Kemudian Kiyai Utsman minta dibelikan kaca mata, beliau mengira bahwa matanya sudah rusak. Setelah dibelikan dan dipakai, ternyata hasilnya sama saja. Menurut Kiyai Asrori, itulah awal kasyaf yang dialami ayahndanya dan sejak saat itu Kiyai Utsman bisa melihat orang dengan segala kepribadiannya. Ada yang menyerupai serigala, ada yang seperti ayam dan kucing tergantung pembawaan nafsu masing-masing. Akan tetapi Kiyai Utsman tidak berani mengatakan terus terang, karena hal itu menyangkut kerahasiaan seseorang.
Pada saat bermukim di lereng gunung dekat Ngawi, Kiyai Utsman pernah bermimpi ketemu Kiyai Hasyim Asy’ari Tebuireng dan berpamitan dengan Kiyai Utsman dengan mengatakan “saya duluan Utsman !” ternyata pada esok harinya beliau mendengar berita bahwa Kiyai Hasyim Asy’ari meninggal dunia (pulang kerahmatullah).
Kiyai Muhammad Faqih Langitan Tuban pernah mengatakan bahwa Kiyai Zubeir Sarang Rembang bermimpi ketemu Rasulullah SAW sedang menemui 2 orang laki laki dan Rasulullah menyatakan kepada Kiyai Zubeir “keluargaku banyak tersebar di tanah Jawa diantaranya ialah Romly dan Utsman”.
Salah seorang sopir Kiyai Utsman pernah mengatakan, dalam perjalanan dari Rejoso menuju Surabaya, tiba tiba mobil yang dikendaraai Kiyai Utsman bensinnya habis. Padahal seluruh uang sakunya telah diserahkan ke pondok. Kemudian Kiyai memerintahkan kepada sopirnya “begini saja, tangki mobil diisi dengan air teh tanpa gula secukupnya” karena sopir itu percaya dengan kiyai, maka perintah itu dilaksanakan dengan sepenuh hati. Kemudian yai menanyakan “sudah kau isi bensin ?” jawab sopir “mobil kami isi dengan teh sesuai dawuh yai” yai pun segera mengajak pulang ke Surabaya. Dan alhamdulillah mobil bisa berjalan ke Surabaya dengan bahan bakar teh.

Demikian sepenggal biografi ulama besar KH. Utsman Al Ishaqi asal Jatipurwo Surabaya, yang kemudian nama beliau terpatri dalam nama Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah. Sepeninggal Kiyai Usman, tongkat estafet mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah diberikan kepada salah satu putranya yakni KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi. Pengalihan tugas itu berdasarkan wasiat Kiyai Utsman menjelang wafatnya. Kini dibawah kendali Kiyai Asori murid murid thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah telah tersebar ke seluruh pelosok tanah air, bahkan hingga manca negara dan timur tengah. Semoga biografi Kiyai Utsman dapat diambil ibrahnya untuk pegangan hidup kita dalam beribadah dalam mencapai kebahagiaan dunia dan akherat. Amien Allahumma amin !!!

Sumber :
http://tasawuf.blog.com
http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
http://www.facebook.com/Para.Pecinta.Habaib.dan.Ulama
Info! Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Syekh Usman al-Ishaqi Sawahpulo, jangan lupa + IKUTI website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat. Simak artikel kami lainnya di Google News.
Artikel Terkait

Tentang penulis

elzeno
Pengalaman adalah Guru Terbaik. Oleh sebab itu, kita pasti bisa kalau kita terbiasa. Bukan karena kita luar biasa. Setinggi apa belajar kita, tidahlah menjadi jaminan kepuasan jiwa, yang paling utama seberapa besar kita memberi manfaat kepada sesam…

Posting Komentar