Di suatu desa di wilayah Bangkalan, tersebutlah seorang ulama bernama Sayyid Husein. Beliau mempunyai banyak pengikut karena ketinggian ilmunya. Selain akhlaknya yang berbudi luhur, beliau juga memiliki banyak karomah, karena kedekatannya dengan sang Khaliq.
Beliau sangat dihormati pengikutnya dan semua penduduk di sekitar Bangkalan. Namun bukan berarti beliau lepas dari orang yang benci, disebabkan iri hati akan kedudukan beliau di mata masyarakat saat itu. Hingga suatu hari salah seseorang dari mereka yang iri itu berniat mencelakai dan menghancurkan kedudukan Sayyid Husein. Orang itu merekayasa berita, bahwa Sayyid Husein bersama pengikutnya telah merencanakan pemberontakan dan ingin menggulingkan kekuasaan Raja Bangkalan.
Berita palsu ini akhirnya sampai ke telinga sang Raja. Mendengar berita itu Raja kalang-kabut dan tanpa pikir panjang mengutus panglima perang bersama sejumlah pasukan untuk menuju kediaman Sayyid Husein. Sayyid Husein yang saat itu sedang beristirahat langsung dikepung dan dibunuh secara kejam oleh tentara kerajaan, tanpa pikir panjang dan tanpa disertai bukti yang kuat. Sayyid yang tidak bersalah itu pun wafat seketika itu dan konon jenazahnya dimakamkan di perkampungan tersebut.
Selang beberapa hari dari wafatnya Sayyid Husein, Raja mendapat informasi yang sebenarnya, bahwa Sayyid Husein tidak bersalah. Ia menyesali keputusannya yang sama sekali tidak berdasar pada bukti-bukti kuat. Dia tidak tahu harus berbuat apa untuk menebus kesalahan tersebut, hingga berinisiatif memberi gelar kepada Sayyid Husein dengan sebutan Bujuk Banyu Sangkah (Buyut Banyu Sangkah).
Sayyid Husein wafat dengan meninggalkan dua orang putra. Yang pertama bernama Abdul Manan dan yang kedua bernama Abdul Rohim. Sejak kejadian yang menimpa Sayyid Husein, Abdul Rohim lari ke Desa Bire (masih dalam kawasan Kabupaten Bangkalan), dan menetap disana sampai akhir hayat beliau. Dan akhirnya beliau terkenal sebagai Bujuk Bire (Buyut Bire).
Sementara Abdul Manan, pergi mengasingkan diri, menjauh dari kekuasaan Raja Bangkalan. Hari demi hari dilaluinya dengan sengsara dan penuh penderitaan, hingga akhirnya sampai di sebuah hutan lebat di tengah perbukitan wilayah Batu Ampar (Kabupaten Pamekasan). Di hutan inilah beliau bertapa mendekatkan diri kepada Allah SWT. Pertapaan ini beliau lakukan di bawah Pohon Kosambi selama 41 tahun, sebelum akhirnya ditemukan anak seorang perempuan yang sedang mencari kayu dihutan. Karena itulah beliau dijuluki Bujuk Kosambih.
Singkat cerita Abdul Manan dibawa ke rumahnya, dan menikah dengan putri sulung yang menderita penyakit kulit. Aneh, pada hari ke-41 pernikahan mereka, si sulung sembuh dari penyakitnya. Bahkan kulitnya bertambah putih bersih dan cantik jelita, hingga kecantikannya tersiar kemana-mana.
Dari pernikahan ini, beliau dikarunia dua orang putra; pertama bernama Taqihul Muqadam, dan yang kedua adalah Basyaniah. Setelah bertahun-tahun berdakwah, beliau wafat dan dimakamkan di Batu Ampar dan terkenal dengan julukan Bujuk Kosambi.
Basyaniyah (Bujuk Tompeng) putra kedua Abdul Manan, mempunyai kesamaan sikap dengan ayahandanya. Beliau senang bertapa dan menjauhkan diri dari pergaulan masyarakat. Dalam bertapa, Basyaniyah memilih tempat di sebuah bukit yang terkenal dengan nama Gunung Tompeng. Bukit ini terletak kurang lebih 500 meter arah barat daya Batu Ampar.
Bujuk Tompeng wafat meninggalkan seorang putra yang bernama Su’adi, dan dimakamkan di dekat makam ayahadanya.
Su'adi yang terkenal dengan sebutan Syekh Abu Syamsudin dan mendapat julukan Bujuk Latthong putra tunggal Bujuk Tompeng, tidak berbeda dengan perjalanan hidup ayah dan kakeknya. Dia senang bertapa, menyendiri dan berpindah-pindah tempat. Salah satu tempat pertapaan beliau adalah sebuah hutan di dekat kampung Aeng Nyono’. Di sebuah bukit di kampung Aeng Nyono’ yang menjadi tempat pertapaan Syekh Syamsudin, hingga saat ini dapat kita lihat kejadian alam yang aneh berupa sumber air yang mengalir ke atas Bukit Pertapaan. Konon Syekh Syamsudin menancapkan tongkatnya ke tanah sampai akhirnya keluar air deras dan mengalir ke atas bukit, untuk dipergunakan untuk wudlu. Atas kejadian inilah kampung Aeng Nyono’ diberi nama. Aeng Nyono' dalam Bahasa Madura berarti air yang mengalir ke atas.
Asal usul Buju’ Latthong yang disandangkan kepada beliau, ialah karena karamah beliau berupa keluarnya sinar dari dada beliau. Apabila sinar itu dilihat oleh orang yang berdosa dan belum bertaubat, maka orang tersebut akan pingsan atau tewas. Untuk menutupi karamah itu, beliau menutupi dadanya dengan latthong (celethong / kotoran sapi)
Kisah lain menyebutkan bahwa seorang yang berjuluk Bujuk Sarabe yang suka berbuat jahat berniat menghabisi beliau. Ketika akan membunuh Syekh Abu Syamsudin, saat Bujuk Sarabe dan anak buahnya mencabut senjata, mendadak senjata itu lenyap dan tinggal kerangkanya saja. Setelah mengaku kalah dan memohon agar senjatanya dikembalikan, Syekh Syamsudin menunjukkan letak senjata tersebut yang berada dalam Latthong.
Bujuk Latthong wafat dengan meninggalkan tiga orang putra, yaitu Syekh Husein, Syekh Lukman dan Syekh Syamsudin. Beliau di makamkan di Batu Ampar.
Syeikh Husein sebagaimana para pendahulunya, senang menjalani laku tirakat. Beliau ini terkenal akan kecerdasan pikirannya. Beliau hafal Kitab Ihya Ulumuddin Imam Ghozaly. Masa pertapaan Syeikh Husein tidak selama para pendahulunya. Akibat perkembangan zaman, tempat tinggal beliau dan daerah sekitar telah menjadi ramai oleh para pendatang. Beliau pun banyak bergaul dan mendidik masyarakat tentang agama. Syeikh Husein adalah keturunan terakhir Sayyid Husein yang mempunyai kegemaran bertapa dan menjalankan laku tirakat. Keturunan sesudahnya cenderung untuk merantau dan mencari guru untuk menuntut ilmu.
(Habib Ahmad bin Faqih Basyaiban )
Info!
Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Sejarah Waliyullah Sayyid Husein Bujuk Batu Ampar Madura dan keturunannya, jangan lupa + IKUTI website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat. Simak artikel kami lainnya di Google News.
Artikel Terkait
Dukung kami dengan memilih salah satu metode donasi di bawah ini: