Sluku-sluku Bathok
Oleh : KH. Yahya C. Staquf
Islam bukan Arab, tapi tak bisa dipisahkan dari Arab. Sesulit apa pun, ketika berislam, orang terpaksa sedikit-banyak berarab juga, setidak-tidaknya dalam bahasa.
Pernahkah kau bayangkan, betapa asingnya agama ini ketika pertama kali datang di Jawa? Hanya separuh (15 dari 29) fonem Arab (dari huruf Hijaiyyah) punya padanan dalam fonem Jawa (dari Honocoroko). Sedangkan transliterasi pun tidak mungkin: bagaimana menulis “kho” atau “dzal” , misalnya, dengan aksara Jawa?
Karena itu, para pionir Islam di tanah Jawa mentolerir “transfoni” , alih bunyi: “dho” jadi “lo” ( “dhuhur” jadi “luhur” ), “‘ain” jadi “ngo” ( “‘ashr” jadi “ngasar” ) dan seterusnya. Bahkan, sangking repotnya memperkenalkan Islam kepada basis budaya yang begitu jauh jaraknya ini, dengan sengaja dijalankan strategi “alter-foni” ( “plesetan” bunyi).
Tokoh-tokoh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong tidak dikenal dalam babon pewayangan yang asli dari India. Itu adalah tokoh-tokoh kreasi Sunan Kalij…