Sampai 1912, penduduk Kubu tersisa sekitar 8.000 jiwa. Sebagian besar penduduk semula pindah ke daerah lain di luar Negeri Kubu. Mereka merasa tertekan oleh berbagai pajak yang diberlakukan oleh para menteri kerajaan yang diberi kewenangan untuk menarik pajak, berupa cukai dan blasting.
Dalam 1917, Agil bin Zain diberhentikan dari jabatannya digantikan Kasimin Mantri Polisi dari Pontianak berkedudukan di Telok Pakedai selaku Kepala Distrik. Pada 1919 Syarif Yahya wafat, digantikan Syarif Saleh bin Idrus Al Aydrus berkedudukan di Padang Tikar. Pda 1919 itu pula, Tuan Kubu Syarif Zain berhenti dari kedudukannya oleh putusan Gubernur Jendral Belanda 29 Agustus 1919 dan memperoleh hak pensiun sejak 15 Juni 1921.
Untuk mengisi kekosongan tahta Raja Kubu, dengan persetujuan pemerintah Belanda di Batavia, 23 Oktober 1919 dibentuk Majelis Kerajaan (Bestuurscommissie) Kubu, terdiri dari Syarif Saleh bin Idrus (Kepala Distrik Padang Tikar) dan Kasimin (Kepala Distrik Telok Pakedai). Dikarenakan sesuatu sebab hukum, Kasimin kemudian diberhentikan Belanda.
Raja Kedelapan (1919-1944)
Dengan diberhentikannya Kasimin selaku Bestuurscommisie, maka lembaga ini menyisakan Syarif Saleh Al Aydrus sendiri. Saleh, salah seorang ahli waris Kerajaan Ambawang, pada 7 Februari 1922 dinobatkan sebagai Wakil Kepala pemerintahan Kerajaan Kubu bergelar Tuan Kubu di mana sebelumnya berdasarkan Korte Verklaring 3 September 1921 ditetapkan sebagai Wd Zelfbestuurder (Wakil Kepala Pemerintah) Kerajaan Kubu.
Masa pemerintahan Tuan Kubu Syarif Saleh Al Aydrus bin Idrus bin Abdurrahman bin Alwi bin Idrus Al Aydrus (turunan penguasa Ambawang) Kerajaan Kubu dibagi dalam 3 Onder Distrik. Masing-masing Telok Pakedai (dikepalai Saidi bin Said), Batu Ampar (Burhanuddin) dan Kubu (Syarif Ahmad bin Syarif Saleh Al Aydrus).
Belakangan Onder Distrik Kubu dipimpin Syarif Yusuf bin Husin bin Saleh Al Aydrus sejak 1 Agustus 1942, sejak Ahmad ditetapkan sebagai Raja Muda Kubu. Namun 1 Maret 1943, Yusuf meletakkan jabatannya. Pada 20 Februari 1944, Tuan Kubu (Dokoh) Syarif Saleh diciduk balatentara pendudukan Jepang. Keesokan harinya, 21 Februari, Raja Muda Kubu Ahmad, juga diciduk menyusul ayahnya. Maka kemudian barulah diketahui, pada 28 Juni 1944, bersama pemuka Kalimantan Barat lainnya, Tuan Kubu Saleh dan Raja Muda Ahmad, termasuk korban pembantaian Jepang.
Bunken Kanrikan Kubu ketika itu dijabat Nakamura. Sejak awal pendudukan, ia tidak sebagaimana balatentara Jepang lainnya. Sikapnya yang bersahabat dan bersimpati pada rakyat, menyebabkan ia dipersalahkan pemerintah militernya. Nakamura belakangan melakukan hara-kiri sebagai protes atas kekejaman Jepang di Kalimantan Barat.
Syarif Saleh Al Aydrus lahir di Ambawang Kubu Rabu 11 Zulhijjah 1300 H bersamaan 14 Juli 1883. Ibunya Syarifah Seha binti Syarif Umar Al Baraqbah. Wafat 7 Rajab 1363 H bersamaan 28 Juni 1944 akibat kekejaman balatentara Jepang di masa Perang Dunia II. Tentang itu diwartakan Borneo Shimbun 1 Juli 1944 dan Parket v/d Auditeur Militair Pontianak 27 Desember 1947 Nomor 2784/1 yang ditandatangani Mr AH Bosscher.
Semasa hidupnya didampingi 4 orang istri. Masing-masing 1). Syarifah Telaha binti Tuan Kubu Syarif Hasan Al Aydrus (Raja Kubu Kelima) dikaruniai 3 anak, yaitu Syarif Husin, Syarif Abdurrahman dan Syarif Abubakar. 2). Enci’ Rahmah binti Bujang, mendapatkan 3 anak, yaitu Syarif Ahmad (1914—1944, korban keganasan Jepang), Syarifah Aisyah (bersuami Syarif Yusuf bin Said Al Qadri Patih Suri Negara Kubu), dan Syarif Usman. 3). Raden Ning binti Muhammad Syarif dikaruniai seorang anak Syarifah Chadidjah, dan 4). Daeng Leha binti Dalek, tidak beranak.
Masa Transisi
Wafatnya Tuan Kubu Syarif Saleh (1944) beserta putranya Syarif Ahmad, maka kemudian Bunken Kanrikan menunjuk Syarif Yusuf bin Said Al Qadri, menantu Syarif Saleh, sebagai Gi Tyo pada Kubu Zitiryo Hyogikai (semacam Bestuurscommissie masa sebelum pendudukan Jepang). Mulanya Yusuf tidak didampingi anggota lainnya menyandang kedudukan tersebut. Namun kemudian Bunken Kanrikan menetapkan 2 orang anggota mendampingi Yusuf Al Qadri, masing-masing Syarif Jaafar Al Aydrus (Bujang) mantan Controleur Padang Tikar, dan Syarif Hasan bin Zain Al Aydrus (saat itu pagawai kantor Sutiji Tyo di Pontianak).
Setelah kemerdekaan Indonesia, dan revolusi pemuda republikein bergolak di mana-mana, tak terkecuali semangat itu sampai pula di wilayah Kubu. Dalam Nopember 1945 serombongan militer NICA berkunjung ke Kubu. Dipimpin Kapten Hoskstra disertai Wedana Politie Madsaleh mereka mendatangi Istana Kubu. Di sana mereka diterima putra tertua Tuan Kubu yang telah mangkat, Syarif Husin Al Aydrus dan putranya Syarif Yusuf Al Aydrus. Olehnya, Husin selaku pewaris Kubu diminta ke Pontianak untuk menghadap Sultan Hamid II.
Pada 1946, Syarif Husin Al Aydrus dan putranya Syarif Yusuf Al Aydrus menghadap Sultan Pontianak Hamid II. Dengan persetujuan pemerintah NICA, masa transisi pemerintahan pasca kemerdekaan, berakhirnya masa Kubu Zitiryo Hyogikai pada 28 Februari 1946, maka pada 1 Maret 1946 dibentuk Bestuurscommissie Kubu, terdiri dari Syarif Hasan bin Zain (Ketua merangkap anggota), Syarif Yusuf bin Husin bin Saleh Al Aydrus (anggota). Sejak 1 Juni 1946 ditempatkan pula seorang berkebangsaan Indonesia untuk kedudukan Onderafdeelingschef (OAC) sebagaimana dulunya controleur ataupun gezaghebber.
Seterusnya, Yusuf atas permintaan sendiri sejak 1 Maret 1949 pindah ke Pontianak dan bekerja pada kantor Polisi Umum. Dengan begitu, Bestuurcommissie Kubu tinggal seorang, Syarif Hasan Al Aydrus. Namun kemudian Hasan diberhentikan dari kedudukannya karena tersangkut masalah hukum. Dengan demikian, sejak itu pula kekuasaan Kerajaan Kubu ditangani oleh OAC. Dan dalam perkembangan kemudian, Kubu berstatus kewedanaan pada 1958, dan sejumlah onder distrik di dalamnya menjadi kecamatan, yang kemudiannya masuk dalam administratif Kabupaten Pontianak.
Tambahkan keterangan gambar
Tuan Kubu Syarif Saleh Alaydrus Sampai 1912, penduduk Kubu tersisa sekitar 8.000 jiwa. Sebagian besar penduduk semula pindah ke daerah lain di luar Negeri Kubu. Mereka merasa tertekan oleh berbagai pajak yang diberlakukan oleh para menteri kerajaan yang diberi kewenangan untuk menarik pajak, berupa cukai dan blasting. Dalam 1917, Agil bin Zain diberhentikan dari jabatannya digantikan Kasimin Mantri Polisi dari Pontianak berkedudukan di Telok Pakedai selaku Kepala Distrik. Pada 1919 Syarif Yahya wafat, digantikan Syarif Saleh bin Idrus Al Aydrus berkedudukan di Padang Tikar. Pda 1919 itu pula, Tuan Kubu Syarif Zain berhenti dari kedudukannya oleh putusan Gubernur Jendral Belanda 29 Agustus 1919 dan memperoleh hak pensiun sejak 15 Juni 1921. Untuk mengisi kekosongan tahta Raja Kubu, dengan persetujuan pemerintah Belanda di Batavia, 23 Oktober 1919 dibentuk Majelis Kerajaan (Bestuurscommissie) Kubu, terdiri dari Syarif Saleh bin Idrus (Kepala Distrik Padang Tikar) dan Kasimin (Kepala Distrik Telok Pakedai). Dikarenakan sesuatu sebab hukum, Kasimin kemudian diberhentikan Belanda. Raja Kedelapan (1919-1944) Dengan diberhentikannya Kasimin selaku Bestuurscommisie, maka lembaga ini menyisakan Syarif Saleh Al Aydrus sendiri. Saleh, salah seorang ahli waris Kerajaan Ambawang, pada 7 Februari 1922 dinobatkan sebagai Wakil Kepala pemerintahan Kerajaan Kubu bergelar Tuan Kubu di mana sebelumnya berdasarkan Korte Verklaring 3 September 1921 ditetapkan sebagai Wd Zelfbestuurder (Wakil Kepala Pemerintah) Kerajaan Kubu. Masa pemerintahan Tuan Kubu Syarif Saleh Al Aydrus bin Idrus bin Abdurrahman bin Alwi bin Idrus Al Aydrus (turunan penguasa Ambawang) Kerajaan Kubu dibagi dalam 3 Onder Distrik. Masing-masing Telok Pakedai (dikepalai Saidi bin Said), Batu Ampar (Burhanuddin) dan Kubu (Syarif Ahmad bin Syarif Saleh Al Aydrus). Belakangan Onder Distrik Kubu dipimpin Syarif Yusuf bin Husin bin Saleh Al Aydrus sejak 1 Agustus 1942, sejak Ahmad ditetapkan sebagai Raja Muda Kubu. Namun 1 Maret 1943, Yusuf meletakkan jabatannya. Pada 20 Februari 1944, Tuan Kubu (Dokoh) Syarif Saleh diciduk balatentara pendudukan Jepang. Keesokan harinya, 21 Februari, Raja Muda Kubu Ahmad, juga diciduk menyusul ayahnya. Maka kemudian barulah diketahui, pada 28 Juni 1944, bersama pemuka Kalimantan Barat lainnya, Tuan Kubu Saleh dan Raja Muda Ahmad, termasuk korban pembantaian Jepang. Bunken Kanrikan Kubu ketika itu dijabat Nakamura. Sejak awal pendudukan, ia tidak sebagaimana balatentara Jepang lainnya. Sikapnya yang bersahabat dan bersimpati pada rakyat, menyebabkan ia dipersalahkan pemerintah militernya. Nakamura belakangan melakukan hara-kiri sebagai protes atas kekejaman Jepang di Kalimantan Barat. Syarif Saleh Al Aydrus lahir di Ambawang Kubu Rabu 11 Zulhijjah 1300 H bersamaan 14 Juli 1883. Ibunya Syarifah Seha binti Syarif Umar Al Baraqbah. Wafat 7 Rajab 1363 H bersamaan 28 Juni 1944 akibat kekejaman balatentara Jepang di masa Perang Dunia II. Tentang itu diwartakan Borneo Shimbun 1 Juli 1944 dan Parket v/d Auditeur Militair Pontianak 27 Desember 1947 Nomor 2784/1 yang ditandatangani Mr AH Bosscher. Semasa hidupnya didampingi 4 orang istri. Masing-masing 1). Syarifah Telaha binti Tuan Kubu Syarif Hasan Al Aydrus (Raja Kubu Kelima) dikaruniai 3 anak, yaitu Syarif Husin, Syarif Abdurrahman dan Syarif Abubakar. 2). Enci’ Rahmah binti Bujang, mendapatkan 3 anak, yaitu Syarif Ahmad (1914-1944, korban keganasan Jepang), Syarifah Aisyah (bersuami Syarif Yusuf bin Said Al Qadri Patih Suri Negara Kubu), dan Syarif Usman. 3). Raden Ning binti Muhammad Syarif dikaruniai seorang anak Syarifah Chadidjah, dan 4). Daeng Leha binti Dalek, tidak beranak. Masa Transisi Wafatnya Tuan Kubu Syarif Saleh (1944) beserta putranya Syarif Ahmad, maka kemudian Bunken Kanrikan menunjuk Syarif Yusuf bin Said Al Qadri, menantu Syarif Saleh, sebagai Gi Tyo pada Kubu Zitiryo Hyogikai (semacam Bestuurscommissie masa sebelum pendudukan Jepang). Mulanya Yusuf tidak didampingi anggota lainnya menyandang kedudukan tersebut. Namun kemudian Bunken Kanrikan menetapkan 2 orang anggota mendampingi Yusuf Al Qadri, masing-masing Syarif Jaafar Al Aydrus (Bujang) mantan Controleur Padang Tikar, dan Syarif Hasan bin Zain Al Aydrus (saat itu pagawai kantor Sutiji Tyo di Pontianak). Setelah kemerdekaan Indonesia, dan revolusi pemuda republikein bergolak di mana-mana, tak terkecuali semangat itu sampai pula di wilayah Kubu. Dalam Nopember 1945 serombongan militer NICA berkunjung ke Kubu. Dipimpin Kapten Hoskstra disertai Wedana Politie Madsaleh mereka mendatangi Istana Kubu. Di sana mereka diterima putra tertua Tuan Kubu yang telah mangkat, Syarif Husin Al Aydrus dan putranya Syarif Yusuf Al Aydrus. Olehnya, Husin selaku pewaris Kubu diminta ke Pontianak untuk menghadap Sultan Hamid II. Pada 1946, Syarif Husin Al Aydrus dan putranya Syarif Yusuf Al Aydrus menghadap Sultan Pontianak Hamid II. Dengan persetujuan pemerintah NICA, masa transisi pemerintahan pasca kemerdekaan, berakhirnya masa Kubu Zitiryo Hyogikai pada 28 Februari 1946, maka pada 1 Maret 1946 dibentuk Bestuurscommissie Kubu, terdiri dari Syarif Hasan bin Zain (Ketua merangkap anggota), Syarif Yusuf bin Husin bin Saleh Al Aydrus (anggota). Sejak 1 Juni 1946 ditempatkan pula seorang berkebangsaan Indonesia untuk kedudukan Onderafdeelingschef (OAC) sebagaimana dulunya controleur ataupun gezaghebber. Seterusnya, Yusuf atas permintaan sendiri sejak 1 Maret 1949 pindah ke Pontianak dan bekerja pada kantor Polisi Umum. Dengan begitu, Bestuurcommissie Kubu tinggal seorang, Syarif Hasan Al Aydrus. Namun kemudian Hasan diberhentikan dari kedudukannya karena tersangkut masalah hukum. Dengan demikian, sejak itu pula kekuasaan Kerajaan Kubu ditangani oleh OAC. Dan dalam perkembangan kemudian, Kubu berstatus kewedanaan pada 1958, dan sejumlah onder distrik di dalamnya menjadi kecamatan, yang kemudiannya masuk dalam administratif Kabupaten Pontianak.
Info!
Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Tuan Kubu Syarif Saleh Alaydrus, jangan lupa + IKUTI website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat. Simak artikel kami lainnya di Google News.
Artikel Terkait
Dukung kami dengan memilih salah satu metode donasi di bawah ini: