Islam di Bangka Petaling Belitung
Tulisan ini selain bersumber dari kajian dan analisa penulis dari tiga makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional STAIN SAS Bangka Belitung tentang Sejarah Masuknya Islam di Bangka Belitung, Rabu (19/8) di Gedung LPMP Provinsi Bangka Belitung, juga merujuk dari beberapa literatur dan sumber lisan yang ada kaitannya dengan sejarah Islam di Bangka Belitung.
Sebelumnya telah dipaparkan fase awal penyebaran Islam di Bangka Belitung (khususnya di Pulau Bangka) baru teridentifikasi pada abad XVI yang dibuktikan dengan kedatangan Sultan Johor dan Panglima Perang Tuan Sarah serta Raja Alam Harimau Garang dari Minangkabau yang mengemban misi untuk menumpas bajak laut (lanun/lanon) sekaligus menyebarkan Agama Islam yang berkedudukan di Bangkakota dengan mengangkat Panglima Sarah sebagai Raja Muda di Pulau Bangka. Kemudian dilanjutkan dengan priode ulama Banten yang berakhir pada sekitar separuh lebih dari abad XVII atau sejak wafatnya Bupati Nusantara pada tahun 1671.
Pasca selanjutnya, penyebaran dan dakwah Islam di Pulau Bangka dilanjutkan oleh Kesultanan Palembang yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan Abdurrahman, menantu Bupati Nusantara. Sampai di priode ini (Kesultanan Palembang) penyebaran Islam berlangsung lamban karena hampir dari seluruh sultan Palembang lebih terfokus pada eksploitasi bijih timah ketimbang secara intensif menyebarkan Islam di Pulau Bangka.
Babak baru penyebaran Islam di Pulau Bangka baru terjadi atau diperkirakan berlangsung sekitar pertengahan abad XIX. Disebut sebagai babak baru karena upaya penyebaran Islam secara intensif dilakukan ke hampir seluruh Pulau Bangka bermula pada pertengahan abad XIX. Pada priode ini, ulama Banjar (Kalimantan Selatan) memegang peranan penting, karena mereka inilah yang konon disebut-sebut sebagai ulama paling berpengaruh ‘mewarnai’ Islam di Pulau Bangka. Mengenai kapan tahun kedatangan pertama ulama-ulama Banjar ke Pulau Bangka belum diperoleh data yang pasti.
Dalam makalah berjudul Islamisasi di Bangka ditulis oleh Ketua STAIN SAS Bangka Belitung, Drs Zulkifli Harmi MA, dalam Seminar Nasional Sejarah Masuknya Islam di Bangka Belitung, memaparkan salah seorang ulama Banjar yang tercatat mendatangi sekaligus menyebarkan Islam di Pulau Bangka adalah KH Muhammad Afif keturunan ketiga (cicit) Syaikh Muhammad Arsyad Al Banjari ulama Banjar yang paling berpengaruh dan pengarang kitab fiqih Sabil al Muhtadin yang tersohor itu. Kemungkinan besar, H Muhammad Afif yang tidak lain adalah ayah dari Syaikh Abdurrahman Siddik ini datang ke Pulau Bangka tepatnya di Muntok pada dekade setelah 1860-an.
Hijrah Karena Penindasan
Dakwah Islam di Pulau Bangka yang dilakukan oleh ulama Banjar pada pertengahan abad XIX atau sekitar tahun 1860-an, berawal dari peristiwa jatuhnya Kesultanan Banjar di tangan pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1859. Hegemoni kekuasaan kolonial pada masa itu tidak saja meruntuhkan Kesultanan Banjar secara politik maupun ekonomi, namun turut pula menciptakan kekacauan dan rasa tidak aman bagi rakyat Banjar. Khususnya para ulama dan orang-orang kesultanan yang tidak mau tunduk dengan pemerintah Belanda, terus dikejar dan dibunuh.
Berdasarkan catatan Zulkifli, runtuhnya Kesultanan Banjar yang sebelumnya telah menggantikan kedudukan Kesultanan Palembang sebagai pusat kebudayaan dan intelektual Islam di nusantara akibat pendudukan pemerintah Hindia Belanda ini, membawa pengaruh yang besar terhadap perkembangan Islam di Bangka. Rasa tidak aman rakyat Banjar dan ulama-ulamanya akibat penindasan pemerintah Hindia Belanda ini, membuat sebagian mereka memilih meninggalkan tanah kelahiran mereka (hijrah). Salah satu tempat yang dipilih untuk hijrah dan bermukim adalah Pulau Bangka. Pada masa itu tercatat nama H Muhammad Afif bersama istri mudanya Sofiyah binti H Muhammad Qasim dan tiga orang putranya, memilih bermukim di salah satu tempat yang strategis di Pulau Bangka yakni Kota Muntok.
Alasan mengapa H Muhammad Afif memilih melakukan penyebaran atau dakwah Islam di Pulau Bangka, tidak mendapat penjelasan rinci dalam Seminar Sejarah Masuknya Islam di Bangka Belitung. Namun boleh jadi kedatangan H Muhammad Afif ini disebabkan karena wilayah Pulau Bangka pada masa itu masih terbilang aman dari penindasan kolonial (Belanda). Tidak seperti di Banjar dimana pada saat itu para ulama dan orang-orang yang terkait dengan Kesultanan Banjar diuber-uber bahkan dibunuh oleh Belanda. Tidak menutup kemungkinan pula kalau kedatangan H Muhammad Afif di Pulau Bangka adalah untuk meneruskan dakwah Islam yang sebelumnya sudah dilakukan oleh sejumlah ulama Banjar terdahulu. Kemungkinan seperti ini (melanjutkan dakwah ulama-ulama terdahulu) bisa saja terjadi mengingat masih banyak ulama-ulama penyebar Islam pada fase awal masuknya Islam di Pulau Bangka yang diyakini belum tercantum dalam data dan garapan tentang sejarah Islam di Bangka Belitung.
Salah satunya adalah Atok Ning (Ningrat?) ulama Banten yang menyebarkan Islam di Bangka yang wafat dan dimakamkan di Desa Air Duren Kecamatan Mendobarat. Oleh sebagian orang, ulama yang satu ini disebut-sebut sebagai ulama pertama yang melakukan dakwah Islam di Mendobarat sekaligus sebagai penggagas dan pendiri masjid pertama untuk melaksanakan Sholat Jumat di Mendobarat yang sekarang bernama Masjid Mardhiatul Jannah di Desa Air Duren. Namun belum ditemukan data akurat apakah Atok Ning melakukan dakwah Islam di Air Duren ini sebelum masuknya Kesultanan dan Ulama Banten di Pulau Bangka ataukah sesudahnya. Kemungkinan seperti ini bisa pula terjadi pada ulama-ulama Banjar yang menyebarkan Islam di Pulau Bangka.
Seperti ulama-ulama sebelumnya, selama menetap di Muntok H Muhammad Afif gencar melakukan dakwah Islam. Di zaman itu, nama ulama ini pun makin tersohor di wilayah Pulau Bangka. Bahkan, menurut Zulkifli, berkat kerja keras KH Muhammad Afif inilah yang membuat proses islamisasi di Bangka berlangsung cepat di masa itu.
Di penghujung abad XIX atau sekitar tahun 1898-1899, salah seorang putra H Muhammad Afif yakni Syaikh Abdurrahman Siddik datang ke Muntok dan menggantikan posisi ayahnya mengajarkan pendidikan Islam dan dakwah di Muntok.
Kedatangan ulama yang membawa ajaran tarekat Samaniah dengan salah satu karya yang terkenal yakni Amal Ma’rifat ini, belakangan, sangat memberi pengaruh besar terhadap pertumbuhan Islam di Bangka Belitung pada priode itu bahkan hingga sekarang.
Hasil penelusuran dari beberapa literatur dan keterangan yang disampaikan secara lisan, kedatangan Syaikh Abdurrahman Siddik ke Pulau Bangka setidaknya mengemban dua misi. Pertama untuk bersilaturrahmi kepada ayahnya H Muhammad Afif dan menyebarkan dakwah serta pendidikan Islam sebagai salah satu jihad dan kekuatan melawan kolonialisme pada masa itu.
Dakwah yang dilakukan Syaikh Abdurrahman Siddik tidak saja terpusat di Muntok. Selanjutnya meluas hingga Kundi, Kotawaringin, Pudingbesar, Mendobarat (yang berpusat di Kemuja), Sungaiselan, Belinyu dan sejumlah tempat lainnya.
Selain merujuk pada kitab-kitab yang dipelajari dari guru-gurunya, Syaikh Abdurrahman Siddik juga aktif menulis kitab sebagai bahan ajar. Setidaknya, selama berada di Bangka, menurut Zulkifli, Syaikh Abdurrahman Siddik telah menulis sembilan kitab masing-masing Jadwal Sifat Dua Puluh dan Tadzkirah li Nafs wa li Amsal yang ditulis di Belinyu, Pelajaran Kanak-kanak ditulis di Kemuja, Syarah Sittin Masalah dan Jurumiyah di Sungaiselan, Asrar al-Shalah min Iddah Kutub al-Mu’tamaddah, Syair Ibrah dan Khabar Qiyamah di Muntok serta Fath al-Alim fi Tartib al-Ta’lim di Kundi. Kebanyak kitab-kitab tersebut dicetak di Mathba’ah Ahmadiyah Singapura.
Berdasarkan sejumlah keterangan lisan, untuk lebih memperdalam ilmu agama yang telah ia ajarkan, Syaikh Abdurrahman Siddik menganjurkan murid-muridnya (khususnya di Kemuja) untuk menuntut ilmu (naon) di Mekkah. Mereka inilah (murid-murid Syaikh Abdurrahman Siddik yang naon di Mekkah) yang nantinya akan melanjutkan dakwah dan ajaran Syaikh Abdurrahman Siddik di Desa Kemuja yang dikemas dan dikelola dalam bentuk madrasah (warga setepat menyebutnya dengan sebutan Sekolah Arab) hingga menjadi pesantren yakni Pesantren Al Islam Kemuja.
Sekitar tahun 1912 M, Syaikh Abdurrahman Siddik meninggalkan Pulau Bangka dan melanjutkan dakwah Islam ke beberapa tempat di Sumatera hingga wafatnya di Riau tepatnya di Kampung Hidayat, Sapat, Indragiri tahun 1939. Sedangkan dakwah Islam yang diajarkan beliau selama di Bangka terus dikembangkan oleh para murid dan keturunannya sehingga dikenal luas seantereo Bangka Belitung.
Hingga menjelang pertengahan abad XX atau sekitar dekade 1940-an, dakwah dengan sistem pengajian di rumah-rumah penduduk oleh ulama Banjar, masih berlangsung di Pulau Bangka. Salah satu ulama dimaksud yakni KH Mansyur Al Banjari yang menetap di Desa Petaling Kecamatan Mendobarat.
aibanMengenai ulama ini, belum ditemukan data maupun karya tertulis yang menguak secara mendalam tentang kiprah dan pemikiran-pemikiran beliau, kecuali keterangan dari mulut ke mulut yang disampaikan oleh para tetua masyarakat. Besar kemungkinan KH Mansyur Al Banjari merupakan ulama Banjar terakhir yang melakukan dakwah Islam di Mendobarat. KH Mansyur yang oleh masyarakat Petaling dipanggil Atok Banjar ini menetap di Petaling bersama istrinya bernama Khadijah. Beliau wafat dan dimakamkan di TPU Desa Petaling yang hingga saat ini makamnya dianggap keramat dan sering diziarahi oleh banyak orang. (ichsan mokoginta dasin)
Foto oleh Habib Ahmad bin Faqih Ba Syaiban
http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
http://www.facebook.com/Kisah.Para.DatudanUlama.Kalimantan
http://www.facebook.com/Para.Pecinta.Habaib.dan.Ulama
Info!
Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Perjalanan Datu Landak Syeikh Muhammad Afif al Banjari di Bangka Belitung, jangan lupa + IKUTI website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat. Simak artikel kami lainnya di Google News.
Artikel Terkait
Dukung kami dengan memilih salah satu metode donasi di bawah ini: