Habib Ja’far bin Idrus Al-Musawa, yang tinggal di Kauman, Semarang, lebih banyak terlibat dakwah untuk masyarakat menengah ke bawah. Peran ini diambilnya karena banyak di antara masyarakat menengah ke bawah yang sebetulnya haus akan siraman ruhani dakwah.
“Mereka sibuk bekerja mencari nafkah sehari-hari, sehingga kadang tidak sempat untuk mengaji, sedang ilmu itu penting untuk melakukan amalan ibadah. Tanpa mengetahui ilmu ibadah, tindakan kita akan menjadi kosong,” ujar bapak empat anak ini.
Muballigh kampung ini, begitulah ia sering menyebut dirinya, lahir di Kauman, Bangunharjo, pada tahun 1964. Yang diingatnya, sebagaimana kata-kata abahnya, ia lahir pada bulan Sya’ban.
Sejak kecil ia dididik agama oleh kedua orangtuanya. Ibunya, Hajjah Wildun, adalah guru pertamanya. Sang ibu, anak K.H. Sahli, ulama asal Kalimantan yang kemudian tinggal di Kauman, Semarang, adalah murid Kiai Ageng Saleh Darat, yang sangat terkenal itu.
Ibunya ini dulu memiliki 40 saudara yang tinggal di satu rumah besar, dan setelah dewasa semuanya bergerak di bidang dakwah.
Di Kauman, banyak sekali ulama, seperti K.H. Ahmad Abdullah, K.H. Wasiq, dan K.H. Mastur. Kepada para ulama sepuh itulah ia belajar mengaji kitab kuning. Namun untuk memperluas wawasan, Habib Ja’far Musawa juga pernah mondok di PP Saketan, Kaliwungu, Kendal, yang diasuh K.H. Suyuthi. Sedang sekolah umumnya dari SD sampai SMA ditempuh di Semarang.
Pada tahun 1995, Habib Ja’far menikah dengan Syarifah Asmah Muthohar, adik Habib Umar Muthohar, dan dikarunia tiga anak. Mereka adalah Zahra Atika, Hadi Muhammad, dan Aqila Zahwa. Namun sang istri wafat tiga bulan yang lalu.
Sebelum terjun di bidang dakwah, Habib Ja’far berdagang pakaian. Tapi setelah jadwal ta’limnya bertambah dan lebih padat, ia memutuskan untuk sepenuhnya berdakwah, enam hari dalam seminggu, sedang Sabtu libur, khusus untuk acara keluarga.
“Saya ingat pesan Ibunda: Kalau kamu bekerja untuk Allah, Allah-lah yang akan menggajimu, di dunia maupun di akhirat,” ujar Habib Ja’far.
Jadwal ta’lim Habib Ja’far, Senin memberikan kajian umum di Masjid Besar Kauman Semarang ba’da maghrib. Selasa pagi jam 10.00 WIB mengajar kitab Nashihul Ibad di PP Raudhatul Quran Kauman Glondong, Semarang. Pada hari Rabu ba’da ashar mengaji di Majelis Ta’lim Habib Toha bin Syech Almunawar atau Toha Putra, Jalan Kauman Krendo 32-32, Semarang, mengaji kitab Riyadhus Shalihin. Disusul ba’da maghrib pada hari Rabu, kajian hadits di Masjid Az-Zahra. Hari Kamis pengajian di rumahnya, Kauman, Semarang, ba’da maghrib dengan tema umum. Hari Jumat ba’da maghrib di Majid An-Nur Palebon, kajian fiqih, serta menjadi khatib shalat Jum’at di berbagai masjid di Semarang. Hari Ahad pengajian untuk ibu-ibu di Kampung Gending Semarang ba’da asyar.
Selain berdakwah, di organisasi, Habib Ja’far sekarang pun duduk di seksi dakwah MUI Semarang. Sebelumnya ia juga pernah menjadi wakil rais Syuriah NU PC Semarang.
Bagaimana dakwah untuk wong cilik, terekam dalam pengajian Rabu sore di Majelis Ta’lim Habib Toha bin Syech Almunawar Kauman Krendo, yang lalu Rabu (3/10). Pengajian yang dihadiri sekitar 100 jama’ah yang justru datang dari luar Kauman ini mengambil kajian kitab Riyadhus Shalihin.
Mengaji kitab Riyadhus Shalihin, susunan Imam Nawawi, baru saja dimulai setelah Syawwal 1433 H lalu. Pengajian diawali dari bab tentang niat dan ikhlas dalam beramal. Kitab ini dipilih karena ayat dan hadits yang dicantumkannya sangat kuat kedudukannya dan menjadi dasar akhlaq al-karimah dan beramal. Imam Nawawi memulai pembahasan dalam kitab ini meniru Imam Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari, yaitu dimulai dari bab niat.
Imam Nawawi mengutip ayat tentang niat dan ikhlas, misalnya tentang qurban. Allah Ta’ala berfirman, “Tidaklah sampai kepada Allah daging dan darah qurban, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah taqwa dari kamu sekalian.” – QS Al-Hajj (22): 37.
Hadits pertama yang dibahas dalam kitab ini yaitu ihawl dalil mengapa kita dalam memulai suatu ibadah harus dengan niat dan ikhlas. Dari Amirul Mu’minin Abu Hafsh Umar bin Khaththab RA, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ’Semua amal itu tergantung niatnya, dan apa yang diperoleh oleh seseorang adalah sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barang siapa hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu akan diterima oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya, hijrahnya itu hanya memperoleh apa yang diniatkan dalam hijrahnya itu’.” (HR Bukhari-Muslim).
Dalam berdakwah, Habib Ja’far menggunakan bahasa Jawa ngoko. Di samping karena dari sisi budaya orang yang dianggap lebih tinggi kedudukannya boleh berbahasa ngoko kepada yang yang lebih rendah kedudukannya, penggunaan bahsa Jawa ngoko itu juga bertujuan agar lebih akrab di telinga jama’ah, yang memang kebanyakan dari kalangan bawah pinggir kota Semarang. Pengajian tidak sekadar berpatok pada teks kitab, tetapi juga menerima pertanyaan dari hadirin tentang berbagai hal, khususnya yang aktual dan menjadi problem jama’ah sehari-hari.
Misalnya, Habib Ja’far menjawab pertanyaan apa bedanya aqiqah dengan qurban. Memang umumnya sama-sama menyembelih kambing, meski dalam qurban boleh juga dengan sapi dan unta. Kalau aqiqah menyembelih kambing, kalau bayi perempuan satu ekor, sedang bayi laki-laki dua ekor. Ketentuannya dari bayi sampai baligh. Namun kalau qurban tertuju kepada yang mampu, dimulai dari baligh sampai menjelang ajal. Yang dimaksud baligh adalah umur sekitar 15 tahun, atau ditandai dengan mimpi basah untuk laki-laki dan haidh untuk perempuan.
Begitulah dakwahnya, sederhana tetapi mengena.
Sumber : http://www.majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/1955-habib-jafar-bin-idrus-al-musawa-bekerja-untuk-allah-swt
Info!
Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Habib Ja’far bin Idrus Al-Musawa: Bekerja untuk Allah SWT , jangan lupa + IKUTI website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat. Simak artikel kami lainnya di Google News.
Artikel Terkait
Dukung kami dengan memilih salah satu metode donasi di bawah ini: