Biografi KH Ahmad Zainuddin Darussalikin

Biografi Sosok Kharismatik Syaikhina Al Maghfurlah Ahmad Zainuddin Bin Ma'shum
KH. Ahmad Zainuddin Bin Ma'shum
KH. Ahmad Zainuddin Bin Ma'shum

Sekilas Tentang Biografi Sosok Kharismatik Syaikhina Al Maghfurlah Ahmad Zainuddin Bin Ma'shum.

Biografi dan Keluarga

Romo Kyai Haji Zainuddin merupakan anak ke-6 dari 8 bersaudara dari ayah yang bernama Kyai Ma’shum bin Fatawi bin Sastrowijoyo bin Raden Salim bin Surowitro. Mbah Surowitro merupakan seorang Tokoh di daerah Kepil yang kemudian berbesanan dengan Mbah Abdul Fatah. Mbah Abdul Fatah memiliki putera laki-laki yang bernama Musthofha, seorang Kyai di Kabupaten Wonosobo tepatnya di Kauman Wonosobo. Mbah Musthofha mempunyai puteri yang bernama Qoni’ah. Yang mana puteri beliau tersebut diambil mantu oleh Mbah Faqih Bumen Wonosobo. Qoni’ah dinikahkan dengan putera Mbah Faqih Bumen yang bernama Hasbullah. Dari pernikahan Nyai Qoni’ah dan Mbah Hasbullah tersebut dikaruniai banyak Putra dan Putri, diantaranya adalah Mbah Nyai Thohiroh.

Mbah Ma’shum, Kakek kandung Mbah Zainuddin nyantri di desa Pungalan Purworejo. Dimasa nyantri, pengasuh beliau sempat kaget melihat kejadian aneh. Saat beliau keliling di malam hari, beliau mendapati sinar yang terang di surau pesantrennya. Beliau tidak membangunkan satu per satu Santri, melainkan, beliau memberi tanda dari sumber cahaya terang tersebut dengan mengikat sarung salah seorang santri yang berada di bawah sinar, keesokan harinya, beliau bertanya pada santrinya “sopo sek mau bengi sarunge ditaleni?” kemudian Mbah Ma’shum menjawab bahwa sarung yang diikat adalah sarungnya. dimasa nyantri tersebut, Mbah Ma’shum bersahabat akrab dengan mbah Abu Jamroh seorang ulama’ dari Desa Cawet. Konon, pada suatu hari, Mbah Abu Jamroh da n Abah Ma’shum ziarah bersama ke makam Mbah Imam Puro Purworejo. Beliau berdua berlari untuk sampai di makam Mbah Imam Puro. Sesampainya di makam mbah imam puro beliau berdua kelelahan, hingga beliau ketiduran. Pada saat beliau tertidur, mbah ma’shum bermimpi melihat ada bintang dan bunga besar di tengah lautan dan dikelilingi bunga-bunga indah. Bintang tersebut isyaroh bahwa itu adalah mbah ma’shum dan bunga-bunga yang indah tersebut isyaroh sebagai putra-putra beliau, yang memang pada kenyataanya putra - putra mbah Ma’shum semuanya menjadi ulama’ terkenal.

Diantara putera beliau adalah Mbah Ibnu Hajar dan Mbah Zainuddin. Mbah Ibnu Hajar belajar di watu congol selama 17 tahun. Hingga beliau dipercaya pengasuhnya untuk mengajar kitab-kitab besar di pesantren tersebut. Kemudian setelah mbah ibnu hajar boyong dari pesantren, mbah Ma’shum membeli sebidang tanah di dusun Tempelsari yang kemudian dibangun masjid dan pesantren sebagai pusat pembelajaran ilmu agama yang diasuh dan dikelola oleh Mbah Ibnu Hajar yang telah dinikahkan dengan puteri mbah hasbullah bumen, yakni mbah nyai Thohiroh.

Dari pernikahan tersebut, Mbah Ibnu Hajar memiliki 4 putera yaitu, K. Asnawi Al-Hasbi, Abdul Bar, Musthofha Afifi Dan Imam Baihaqi.

Kyai Ibnu Hajar merupakan Kyai Kharismatik. Santrinya mbah ibnu hajar lumayan banyak. Terlebih pada saat pengajian ramadhan (pengajian al-qur’an dan kitab turots kilatan). Santri kalong yang datang dari berbagai penjuru desa di sekitar kecamatan kertek-kalikajar berbondong-bondong dengan berjalan kaki menuju desa tempelsari untuk menimba ilmu pada beliau. Hingga terjadi kemacetan dari desa Tempelsari sampai desa Sayangan. Diantara santri mbah ibnu hajar adalah romo kyai Zainuddin. Beliau nyantri ditempat kakaknya dengan tetap menjaga sikap sebagai seorang santri. Zainuddin selalu disiplin dan sendiko dawuh pada perintah kakaknya. Hampir semua urusan pondok diserahkan pada zainuddin. Beliau santri yang sangat disiplin, disaat beliau hendak bepergian, beliau selalu berpamitan dan salim dengan mbah ibnu hajar, dan disaat kembali ke pesantren pun selalu melaporkan diri dan berjabat tangan dengan dicium. Melihat fenomena tersebut, mbah ma’shum prihatin. Akhirnya beliau menegur Kyai Ibnu Hajar, namun beliau Kyai Ibnu Hajar menjawab “Mboten nopo bah, mangken larene pinter piyambak”.

Karena teguran ayahnya Zainuddin akhirnya dipondokkan ke Kebumen, ditempat Kyai Nashoha. Disana hanya satu bulan yang kemudian dipindah lagi ke Salatiga di desa Poncol di tempat K. Ahmad Asy’ari murid dari mbah Hadrotus Syaikh K.H Hasyim Asy’ari. Selama tiga tahun beliau nyantri disana dan sudah mampu menguasai banyak kitab diantaranya Fathul Qorib, Machalli sampai Bukhori Muslim. Yang mana semuanya mengaji langsung dihadapan Kyai Ahmad.

Dipenghujung tahun ke-3 di Pesantren tepatnya tahun 1957, beliau mendapat kabar bahwa kakaknya, Kyai Ibnu Hajar wafat. Beliau kemudian pulang untuk mengikuti pemakaman kakaknya. Kyai Ibnu Hajar dimakamkan di desa Larangan.

Setelah lazimnya slametan tujuh hari, beliau berangkat mondok lagi, namun tidak lama karena dijemput oleh Abahnya untuk dinikahkan dengan Nyai Thohiroh dan meneruskan perjuangan kakaknya. Awalnya beliau menolak, namun atas dasar istikhoroh dan menuruti kehendak orang tua akhirnya beliau bersedia.

Saat itu beliau berusia 25 tahun, hanya terpaut beberapa tahun lebih tua Nyai Thohiroh. Dari pernikahan ini beliau dikaruniai satu putra dan satu putri yaitu Muhammad Mahmud Isma’il dan Kuni Mukaromah. Saat putra pertama masih tujuh bulan dalam kandungan Mbah Ma’shum sempat mendoakan. Namun pada tahun 1961 sebelum putra pertama Kyai Zainuddin lahir beliau mbah Ma’shum telah lebih dulu dipanggil yang maha kuasa.

Mengasuh Pondok

Tahun 1960 sejak menikahi Nyai Thohiroh beliau mulai mengasuh pondok. Dari awal berkeluarga beliau memiliki tanggung jawab besra atas putra-putra Kyai Ibnu Hajar. Semuanya diberi pendidikan yang baik dengan dimasukkan ke pondok pesantren. Juga dibuatkan rumah meskipun seadanya.

Kyai Zainuddin sosok yang istiqomah dalam hal apapun. Bekerja, beribadah, berpolitik dan mengurus santri. Bila malam tiba, berkeliling pondok sambil merokok dan membawa tasbih. Bangun malam selalu diawali dengan sholat malam dan rangkaian ibadah lainnya. Sebelum Fajar terbiasa untuk mandi dahulu. Setelah itu mulai membangunkan santri-santri untuk jamaah. Sholat subuh selalu diawal waktu yang didahului wirid fajar bersama para santri.

Beliau memiliki kebiasaan ngunjuk[1] kopi/teh yang dibuat sendiri setiap pagi dan memiliki termos pribadi yang tak pernah kosong. Setiap ada tamu juga dibuatkan minuman oleh beliau sendiri. Tak pernah absen ngasto[2] walau sehabis bepergian dalam keadaan letihpun. Saat beliau gerahpun yang selalu ditanyakan apakah santri-santrinya sudah mengaji atau belum.

Beliau juga sosok yang tegas dan disiplin, prinsipnya juga tegas dan sesuai garis – garis yang ditetapkan dalam hukum – hukum agama. Selain itu juga memiliki kepribadian yang rapi dan bersih. Selalu control kebersihan pesantren, tidak boleh ada santri yang kemproh[3].

Dalam mendidik putra-putrinya, beliau turun tangan sendiri, semua dipesantrenkan. Putra kandungnya yang pertama dipondokkan di Kalibeber sambil sekolah yang kemudian meneruskan ke Kajen.

Saat bulan Maulid tiba, beliau selalu menyambutnya dengan bahagia dan hormat pada bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW ini. Mengenakan pakaian baru lebih diutamakan dibulan ini daripada hari raya, Kolam mujahir dibersihkan dan ikannya dihidangkan khusus untuk tamu. Seorang santri pernah bermimpi bahwa beliau mbah Zain menunjukkan kolamnya yang jernih dan berkata “ini berkah memperingati Maulid Nabi”. Santri tersebut bernama Fauzan yang juga merawat selama beliau sakit menjelang wafat.

Dengan membiasakan mandi fajar dan ngunjuk air putih yang cukup beliau mbah Zain selalu merasa bugar. Meskipun perokok berat beliau tidak punya riwayat sakit jantung. Namun saat usia beliau semakin tua, penyakit semakin mudah menyerang. Beliau sering sakit tapi hanya sebentar – sebentar. Dan di awal bulan Syawal tepatnya tanggal 8 beliau meninggalkan dunia ini, keluarganya dan para santri yang masih menanti curahan ilmu beliau.

Wafat Beliau

Tahun 2008, semua berduka atas kembalinya beliau ke pangkuan Ilahi. Beliau dimakamkan pukul 14.00 di Semunggang. Pada malam pertama beliau di alam barzah, para santri di pondok banyak yang tidak tidur. Dan kurang lebih pukul 22.00 terdengar suara bergemuruh orang-orang berdzikir dan tadarus Al-Quran, setelah dicari ke berbagai sudut pesantren ternyata suara tersebut berasal dari atas masjid yang tak dapat dilihat siapa saja pemilik suara itu.

Sumber : KH. Muhammad Mahmud Ismail dan Ust. Mustamid
Reporter : Ulfah Fauziah, Luluk Ma’nunah dan Khotimatun Nafisah

[1] Kalimat yang diambil dari bahasa jawa (kromo inggil) yang artinya minum.

[2] Kalimat yang diambil dari bahasa jawa (kromo inggil) yang artinya mengajar/ mendidik.

[3] Kalimat yang diambil dari bahasa jawa yang artinya jorok.

Info! Terima kasih telah membaca artikel kami yang berjudul: Biografi KH Ahmad Zainuddin Darussalikin, jangan lupa + IKUTI website kami dan silahkan bagikan artikel ini jika menurut Anda bermanfaat. Simak artikel kami lainnya di Google News.
Artikel Terkait

Tentang penulis

elzeno.id
Pengalaman Adalah Guru Terbaik. Maka, Kita Pasti Bisa Kalau Kita Terbiasa. Bukan Karena Kita Luar Biasa. Setinggi Apa Belajar Kita, Tidahlah Menjadi Jaminan Kepuasan Jiwa, Akan Tetapi Yang Paling Utama Adalah Seberapa Besar Kita Bermanfaat Untuk Ses…

Posting Komentar